animasi blog

Selasa, 02 Oktober 2012

Teori-Teori Belajar Awal

Studi Watson tentang perilaku dengan tujuan menjelaskan hubungan antara stimuli dan respons menjadi perspektif dominan di tahun 1920-an hingga 1950-an.  Asumsi utama behaviorisme adalah bahwa perilaku yang dapat diamati adalah fokus studi, yang harus dipelajari adalah elemen paling sederhana dari perilaku, dan proses belajar adalah perubahan behavioral. Pendapat yang menentangnya yakni Psikologi Gestalt, menekankan pada pentingnya persepsi pemelajar dalam situasi pemecahan masalah dan karenanya ia membahas persoalan kognisi.
Dua pendekatan awal untuk mempelaajari perilaku adalah pengkondisian klasik dan koneksionisme. John Watson mendukung studi perilaku karena menurutnya semua organism menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui respons, dan respon tersebut biasanya disebabkan oleh stimuli. Dengan mempelajari perilaku, psikolog akan mampu untuk memprediksi respon yang ditimbulkan lewat stimulus. Setelah mendalami studi perilaku, Watson menemukan riset reflex-motorik dari psikolog Rusia, V.M. Bekheterev. Watson makin percaya bahwa kontrol perilaku di dunia nyata akan segera dapat dilakukan, namun prediksinya keliru.
Ada 3 asumsi dasar tentang belajar mengenai istilah behaviorisme:
1.       Yang menjadi focus studi seharusnya adalah perilaku yang dapat diamati, bukan kejadian mental internal atau rekonstruksi verbal atas kejadian.
2.       Perilaku harus dipelajari melalui elemennya yang paling sederhana (stimuli spesifik dan respon spesifik).
3.       Proses belajar adalah perubahan behavioral. Suatu respon khusus terasosiasikan dengan kejadian dari suatu stimulus khusus, dan terjadi dalam kehadiran stimulus tersebut.
Melatih reflex untuk merespon stimulus baru membutuhkan pemasangan berulang kali antara stimulus tersebut dan stimulus yang secara alamiah yang memunculkan reflex. Ini disebut pengkondisian klasik. Dalam perkembangannya ada yang disebut amplitudo (jumlah atau kekuatan respon), latensi (lamanya waktu antara stimulus dan respons, generalisasi stimulus (tendensi stimuli yang sama untuk memunculkan reflex. Hal lain yang dapat diukur adalah retensi terhadap pelenyapan (extinction) dan hambatan (inhibition).
2 Akibat yang bertahan lama dari pengkondisian Pavlovian adalah:
1.       Munculnya riset terhadap kelangsungan hidup hewan di lingkungan alam
2.       Perkembangan proses yang disebut kontra pengkondisian (counter-conditioning)
Reaksi terhadap isyarat sebelum datangnya makanan, juga menjelaskan relasi yang terjadi di dalam laboratorium dan studi klinis terhadap kecanduan obat. Setelah beberapa kali pemberian obat, petunjuk yang diasosiasikan dengan pemberian obat akan menyebabkan respons yang disebut CCR (Conditional-compensatory Respons).
BEHAVIORISME JOHN WATSON
                Watson memberi kontribusi pada perkembangan psikologi melalui 3cara:
1.       Watson mengorganisasikan temuan riset pengkondisian ke dalam perspektif baru, yakni behaviorisme dan membujuk psikolog lain untuk memahami arti penting dari pendapatnya.
2.       Kontribusi asli dari karyanya adalah memperluas metode pengkondisian klasik ke respons emosional pada manusia.
3.       Karyanya meningkatkan status belajar sebagai topic dalam psikologi.

Watson sepakat dengan Sigmund Freud, bahwa kehidupan emosi dewasa dimulai sejak masa bayi dan emosi itu dapat ditransfer dari satu objek/ kejadian ke objek atau kejadian lainnya. Namun, dia tidak sepakat dengan metode psikoanalisis Freud untuk menemukan akar dari kehidupan emosi individu (menelusuri memori kanak-kanak dan kejadian yang memicu emosi). Watson berpendapat bahwa proses ini melibatkan pengkondisian atas 3 reaksi dasar (cinta, marah, takut).
                Topik yang terkait, eliminasi atau “unconditioning” reaksi rasa takut anak dirintis oleh Mary Cover Jones. Dia menemukan bahwa usaha untuk membicarakan rasa takut si anak atau mengandalkan pelenyapan (extinction) untuk mengeliminasi rasa takut adalah tidak efektif. Contoh positif dari pengkondisian klasik adalah reaksi munculnya kenangan (respons) terhadap lagu (stimulus yang dikondidikan) yang popular saat seseorang berpacaran. Lagu itu memiliki kekuatan untuk menimbulkan perasaan yang sama seperti saat berpacaran waktu itu. Reaksi emosional itu sering terjadi tanpa disadari, jadi asal mulanya mungkin sulit untuk diidentifikasi.
Koneksionisme Edward Thorndike
Teori koneksionisme Thorndike berbeda dengan teori pengkondisian klasik dimana Thorndike tertarik dengan proses mental (mendesain eksperimen untuk meneliti proses pemikiran binatang) dan ia juga meneliti perilaku mandiri atau sukarela.
Prosedur Ekperimental
Thorndike bereksperimen dengan berbagai macam binatang seperti anak ayam, anjing, ikan, kucing dan monyet dimana ia menggunakan kotak puzzle yang mengharuskan binatang menekan atau menyentuh tuas agar dapat keluar dan mendapatkan makanan. Pada awalnya hewan sering melakukan perlawanan dengan perilaku, seperti mencakar, menggigit, menggaruk dan menggesek-gesekkan badan ke sisi sangkar sehingga akhirnya mereka dapat menekan tuas dan keluar dari kotak tersebut. Dari seluruh binatang yang dijadikan objek eksperimen ditemukan bahwa monyet yang memiliki perubahan paling dramatis karena pada percobaan pertama hewan ini membutuhkan waktu 36 menit untuk membuka kotak dan pada percobaan kedua hewan ini hanya membutuhkan waktu 2 menit 20 detik untuk membuka kotak.
Hukum Belajar
Dalam percobaan eksperimen yang dilakukan Thorndike dapat disimpilkan bahwa respons yang tepat secara perlahan akan “tertanam” sedangkan respon yang tidak tepat melemah atau “terkikis”. Berdasarkan asumsi tersebut Thorndike mengidentifikasi 3 hukum belajar:
1.       Law of effect (keadaan yang memuaskan setelah respons akan memperkuat koneksi antara stimulus dan perilaku yang tepat dan sebaliknya).
2.       Law of exercise (repetisi dari pengalaman akan meningkatkan peluang respon yang benar).
3.       Law of readiness (kondisi yang mengatur keadaan disebut “memuaskan” atau “menjengkelkan”)
Aplikasi ke belajar di Sekolah
Teori koneksionisme Thorndike dapat diaplikasikan dalam kegiatan belajar disekolah, namun karena teori ini juga mencakup referensi ke kejadian mental sehingga teori ini berada di tengah-tengah antara perspektif kognitif dan behavioris. Penerapan teori ini  berupa koneksi antar ide-ide yang akan menghasilkan pengetahuan, contoh 1 x 1 = ½ x 2. Selain itu Thorndike juga menggungkapkan bahwa respon yang sering muncul merupakan awal terhadap stimulus (hukum respons berganda) serta transfer of learning dimana dinyatakan bahwa latihan untuk tugas tertentu akan membantu proses belajar.
Psikologi Gestalt
Fokus riset Gestalt adalah pengalaman persepsi. Riset yang dilakukan psikologi Gestalt terhadap persepsi visual menunjukkan bahwa :
a.       Ciri global dideteksi sebagai keseluruhan, bukan sebagai elemen-elemen sederhana.
b.      Proses ini konstruktif karena individual sering mentransformasikan input visual yang tidak lengkap ke dalam citra perseptual yang lebih jelas.
Konsep Dasar
Chisrian von Ehrenfels (1890) dalam sebuah makalah menunjukkan bahwa kualitas akan tampak dalam persepsi bersamaan dengan elemen-elemen yang terindra secara terpisah dari suatu pengalaman, contohnya, sebuah melodi menggunakan kunci yang berbeda namun melodi tersebut dikenal sebagai kesatuan. Istilah untuk proses ini disebut Gestaltqualitat yaitu “kualitas yang diberikan oleh sebuah pola”. Ada 4 asumsi dasar dari perspektif Gestalt :
1.       Yang harus dipelajari adalah perilaku molar bukan perilaku molecular.
2.       Organisme merespon stimuli yang tersegregasi bukan stimuli spesifik.
3.       Lingkungan behavioral adalah realitas subjek.
4.       Organisasi lingkungan sensoris adalah interaksi dinamis dari kekuatan-kekutan di dalam struktur yang mempengaruhi persepsi individu.
Hukum Organisasi Perseptual
Gestalt berpendapat bahwa tugas utama psikologi adalah mengetahui bagaimana individu secara psikologis memahami atau mempresepsi lingkungan geografis. Hukum Gestalt dasar, yakni hukum Pragnanz (pengorganisasian psikologis terhaddap kelompok stimuli)  dan hukum terkait primer (visual mempengaruhi persepsi).
Riset tentang Belajar dan Pemecahan Masalah
Psikologi Gestalt memiliki beberapa konsep dalam memahami pemecahan masalah yaitu pertama, konsep wawasan yang melibatkan reorganisasi persepsi sesorang untuk melihat solusi. Kedua, analisis kontemporer mengindikasikan pemahaman kreatif pada masalah baru memerlukan kerja keras dan riset, periode inkubasi, momen wawasan dan pengkajian lebih lanjut.
Belajar Berubah-ubah dan Bermakna
Dalam mengaplikasi konsep struktur dan keseluruhan ke dalam analisis belajar, Weitheimer membedakan antara metode belajar :tanpa makna” dan belajar “bermakna” di kelas. Weitheimer mengamati bahwa setelah anak mempelajari pendekatan pemecahan masalah tertentu, mereka sering kali tidak mampu melihat pendekatan lain untuk tugas serupa. Mereka biasanya akan berkata “kami belum tahu.” Penyediaan informasi yang membantu siswa untuk mereorganisasikan sudut pandang masalah harus menjadi bagian integral dari pengajaran pemecahan masalah.      
Faktor-faktor Spesifik dalam Pemencahan Masalah
                Teoritisi Gestalt lainnya mengidentifikasi factor-faktor yang mempengaruhi persepsi dalam pemecahan masalah. Konsep yang relevan untuk kelas saat ini adalah latihan mentransfer, pendekatan masalah dan kekakuan fungsional, dan belenggu masalah.
Latihan mentransfer. Efek dari cara-cara yang berbeda untuk menunjukkan solusi masalah keterampilan pemecahan masalah diteiliti oleh George Katona. Ia mengidentifikasi bahwa metode yang disebutnya sebagai “penemuan dengan panduan” adalah metode yang paling efektif.
Pendekatan masalah dan kekakuan fungsional. Karl Duncker (1926) mencatat bahwa kebanyakan teori berusaha menjelaskan pemecahan masalah yang berkenaan dengan “factor ketiga.” Akan tetapi analisis Duncker terhadap pemecahan masalah yang sukses mengidentifikasikan ada tiga langkah umum. Langkah itu adalah :
a.       Memahami konflik atau masalah
b.      Mengembangkan identifikasi secara jelas atau kesulitan dasar
c.       Mengembangkan solusi masalah untuk mengatasi kesulitan dasar
Solusi itu menurutnya adalah ontoh dari pemikiran produktif dan disebut sebagai solusi dengan nilai fungsional. Siswa yang tidak mampu memahami elemen-elemen situasi dengan cara baru disebut sebagai mengidap kekakuan fungsional.
Belenggu masalah. Kekakuan fungsional adalah kesulitan perceptual dalam pemecahan masalah. Konsep yang terkait adalah belenggu masalah. Konsep ini diidentifikasi oleh Abraham Lunchins (1942), yang diartikan sebagai kekakuan dalam pemecahan masalah karena individu menganggap serangkaian masalah harus dipecahkan dengan cara yang sama.
Perkembangan Lain
Kofka (1935) berpendapat bahwa organisasi bidang dalam persepsi juga berlaku untuk formasi kelompok. Maier (1970) meneliti dinamika pemecahan masalah dalam latar tempat kerja, termasuk penyelia dan karyawan. Kurt Lewin membahas motivasi, dan karyanya menimbulkan perhatian pada konsep dinamika kelompok. Konsep dasarnya adalah B=f (P,E). Albert Bandura menggunakan rumus ini dalam analisisnya terhadap belajar dalam latar sosial. E. Tolman (1932), menyebut karyanya sebagai “subvariasi dari psikologi Gestalt.” Dua istilah yang diperkenalkan Tolman adalah belajar laten dan peta kognitif.
Perbandingan Antara Behaviorisme dan Teori Gestalt
                Psikologi Behaviorisme dan Gestalt mendasarkan risetnya pada asumsi yang berbeda menegnai sifat dan belajar dan focus studinya. Behaviorisme mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku dan mengidentifikasi stimuli dan respons spesifik sebagai focus riset. Sebaliknya, psikologi Gestalt berpendapat bahwa seseorang merespon stimuli yang terorganisasi dan persepsi perorangan adalah factor penting untuk memecahkan masalah.

Karakteristik Utama
Behaviorisme
Teori Gestalt
Asumsi dasar
a.       Perilaku yang dapat diamati, bukan even sadar atau mental, harus dipelajari.
b.      Belajar adalah perubahan.
c.       Hubungan antara stimuli dan respons harus dipelajari.
Individu bereaksi terhadap sebuah kesatuan; karena itu, pemelajaran adalah organisasi  dan reorganisasi bidang sendoris. Kesatuan tersebut memiliki property baru yang berbeda dari yang ada pada elemen tersebut.
Eksperimen umum
a.       Trial and error
b.      Respon emosional atau refleks.
Mengorganisasikan kembali : subjek ditempatkan dalam situasi yang mensyaratkan restrukturisasi bagi solusi.
Formula belajar
a.       Stimulus – respon – imbalan.
b.      Respon emosional :
Stimulus 1 + stimulus 2 = respon.
Konstelasi stimuli – organisasi - reaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar